Warganet Life Pendakian Gunung Merbabu
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.
Wir verwenden Cookies und Daten, um
Wenn Sie „Alle akzeptieren“ auswählen, verwenden wir Cookies und Daten auch, um
Wenn Sie „Alle ablehnen“ auswählen, verwenden wir Cookies nicht für diese zusätzlichen Zwecke.
Nicht personalisierte Inhalte und Werbung werden u. a. von Inhalten, die Sie sich gerade ansehen, und Ihrem Standort beeinflusst (welche Werbung Sie sehen, basiert auf Ihrem ungefähren Standort). Personalisierte Inhalte und Werbung können auch Videoempfehlungen, eine individuelle YouTube-Startseite und individuelle Werbung enthalten, die auf früheren Aktivitäten wie auf YouTube angesehenen Videos und Suchanfragen auf YouTube beruhen. Sofern relevant, verwenden wir Cookies und Daten außerdem, um Inhalte und Werbung altersgerecht zu gestalten.
Wählen Sie „Weitere Optionen“ aus, um sich zusätzliche Informationen anzusehen, einschließlich Details zum Verwalten Ihrer Datenschutzeinstellungen. Sie können auch jederzeit g.co/privacytools besuchen.
Caption foto : Dalam konteks pendakian gunung, FOMO sering kali muncul ketika seseorang merasa tertekan untuk mengikuti tren atau mencapai tujuan yang dianggap keren atau mengesankan oleh orang lain. (WARTAPALA INDONESIA / Metala FEB UMS).
Oleh : Arif Ginanjar Pratama Ketua Umum Metala FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Wartapalaindonesia.com, PERSPEKTIF – Dalam dunia yang dipenuhi dengan kemajuan teknologi dan konektivitas tanpa batas, banyak dari kita yang merasa terjebak dalam perasaan takut akan kehilangan kesempatan, atau dikenal dengan istilah Fear of Missing Out (FOMO).
Salah satu cara yang semakin populer untuk mengatasi FOMO adalah dengan mengejar tantangan fisik dan mental melalui pendakian gunung.
Namun, pertanyaannya adalah, apakah pendakian gunung benar-benar dapat membantu kita menyelaraskan ambisi dan kepuasan pribadi, ataukah ia justru memperburuk perasaan FOMO?
Pendakian gunung sering kali dianggap sebagai bentuk ekstrem dari pencapaian pribadi. Mendaki puncak gunung bukan hanya tentang mencapai titik tertinggi secara fisik, tetapi juga tentang mengatasi batasan pribadi dan mental.
Bagi banyak orang, pendakian gunung adalah simbol pencapaian, keberanian, dan ketahanan. Setiap langkah menuju puncak membawa seseorang lebih dekat kepada tujuan yang telah mereka tetapkan, dan pencapaian ini sering kali memberikan rasa kepuasan yang mendalam.
Ambisi pribadi dalam pendakian gunung bisa beragam. Bagi sebagian orang, itu mungkin tentang mencapai puncak gunung yang menantang sebagai bentuk prestasi diri. Bagi yang lain, itu bisa menjadi cara untuk membuktikan sesuatu kepada diri sendiri atau orang lain.
Pendakian gunung sering kali membawa kepuasan yang besar ketika tujuan tercapai. Perasaan berdiri di puncak dan melihat dunia dari ketinggian yang baru, memberikan rasa pencapaian yang sulit dicapai dalam konteks lain.
Namun, ambisi yang kuat ini juga dapat menjadi pedang bermata dua. Kadang-kadang, ambisi ini dapat mengaburkan motivasi asli dan menyebabkan seseorang merasa terdorong untuk mencapai sesuatu hanya karena dorongan sosial atau untuk memenuhi standar yang tidak realistis.
FOMO dapat mempengaruhi keputusan pendakian gunung dengan cara yang signifikan. Misalnya, seseorang mungkin merasa terdorong untuk mendaki gunung yang ekstrem atau terkenal hanya karena melihat foto-foto puncaknya yang menakjubkan di media sosial. Ini bisa menyebabkan individu membuat keputusan yang tidak mempertimbangkan kesiapan fisik atau mental mereka sendiri, tetapi lebih berfokus pada pencapaian yang dianggap keren atau mengesankan oleh orang lain.
Kasus-kasus di mana FOMO mempengaruhi pendakian sering kali terlihat pada individu yang terjebak dalam siklus perbandingan dan tekanan sosial. Mereka mungkin merasa bahwa mereka harus mengejar pencapaian ekstrem atau mendaki gunung yang sangat menantang untuk merasa dihargai atau diakui, alih-alih mengikuti minat dan kemampuan mereka sendiri.
Fear of Missing Out (FOMO) adalah fenomena psikologis yang merujuk pada rasa kecemasan atau ketidaknyamanan yang timbul dari perasaan bahwa orang lain mungkin memiliki pengalaman yang lebih memuaskan daripada yang kita miliki. Di era media sosial, FOMO semakin diperburuk oleh eksposur konstan terhadap pencapaian dan gaya hidup orang lain.
Dalam konteks pendakian gunung, FOMO sering kali muncul ketika seseorang merasa tertekan untuk mengikuti tren atau mencapai tujuan yang dianggap keren atau mengesankan oleh orang lain. Media sosial memainkan peran besar dalam hal ini. Foto-foto menakjubkan dari puncak gunung yang indah, pengalaman ekstrem, dan pencapaian luar biasa yang dibagikan oleh orang lain, dapat menimbulkan rasa kekurangan dan dorongan untuk mengejar pencapaian serupa.
Ketika FOMO mempengaruhi keputusan untuk mendaki gunung, itu bisa menyebabkan seseorang memilih rute atau tantangan yang tidak sesuai dengan minat atau kemampuan pribadi mereka.
Misalnya, seseorang mungkin merasa terdorong untuk mendaki gunung yang ekstrem hanya karena melihat foto-foto inspiratif dari teman-teman atau influencer, tanpa mempertimbangkan kesiapan fisik atau mental mereka sendiri. Ini dapat mengarah pada pengalaman yang tidak memuaskan atau bahkan berbahaya, jika tidak disertai dengan persiapan yang memadai.
Menyeimbangkan Ambisi dan Kepuasan Pribadi
Menghadapi FOMO dalam dunia pendakian gunung memerlukan refleksi dan penyesuaian diri. Untuk benar-benar mencapai kepuasan pribadi, penting untuk menyelaraskan ambisi dengan motivasi asli dan kebutuhan diri sendiri. Berikut adalah beberapa strategi yang dapat membantu dalam mencapai keseimbangan ini:
1. Menetapkan Tujuan yang Realistis dan Pribadi Alih-alih membandingkan diri dengan pencapaian orang lain. Tetapkan tujuan pendakian yang sesuai dengan minat, kemampuan, dan ambisi pribadi Anda. Ini membantu memastikan bahwa pencapaian Anda berakar pada motivasi yang tulus, bukan sekadar dorongan dari luar.
Misalnya, jika seseorang benar-benar menikmati pendakian gunung dengan pemandangan yang indah tetapi tidak terlalu tertarik pada tantangan ekstrem, maka menetapkan tujuan untuk mendaki gunung dengan pemandangan yang menenangkan dapat lebih memuaskan daripada mengejar gunung yang terkenal sulit.
2. Mengelola Ekspektasi dari Media Sosial Cobalah untuk membatasi paparan terhadap foto dan cerita yang dapat memperburuk FOMO. Ingatlah bahwa apa yang dibagikan di media sosial sering kali hanya cuplikan dari pengalaman yang telah disaring, dan tidak selalu mencerminkan realitas penuh. Media sosial dapat memperburuk FOMO dengan terus-menerus menampilkan gambar dan cerita tentang pencapaian orang lain.
Untuk mengelola ekspektasi, penting untuk mengingat bahwa media sosial sering kali menyajikan versi yang telah disaring dan ideal dari realitas. Fokuskan perhatian pada pengalaman pribadi dan nikmati perjalanan Anda tanpa membandingkannya secara konstan dengan apa yang terlihat di media sosial.
3. Fokus pada Proses, Bukan Hanya Hasil Nikmati setiap langkah perjalanan pendakian dan hargai kemajuan kecil. Proses pendakian — bukan hanya puncaknya — merupakan bagian penting dari pengalaman dan memberikan peluang untuk pertumbuhan pribadi, serta merupakan bagian integral dari pengalaman dan dapat memberikan kepuasan yang mendalam.
Menikmati perjalanan, berfokus pada pengalaman, dan menghargai kemajuan kecil dapat membantu menciptakan kepuasan yang lebih besar.
4. Berbicara dengan Sesama Pendaki Diskusikan motivasi dan pengalaman Anda dengan pendaki lain untuk mendapatkan perspektif yang lebih seimbang. Mendengarkan cerita dan pengalaman orang lain dapat membantu Anda memahami berbagai motivasi dan menilai apakah ambisi Anda selaras dengan kepuasan pribadi Anda.
Contoh Kasus dan Refleksi
Misalnya, seorang pendaki bernama Ilham memutuskan untuk mendaki gunung yang sangat terkenal setelah melihat banyak foto inspiratif di media sosial. Dia merasa tertekan untuk mengikuti jejak para influencer yang sering memposting foto di puncak gunung tersebut.
Namun, setelah beberapa bulan pelatihan intensif, Ilham merasa bahwa dia telah mengabaikan kebutuhan pribadinya untuk waktu istirahat dan refleksi. Selama pendakian, meskipun mencapai puncak, Ilham tidak merasakan kepuasan yang diharapkannya karena dia terlalu fokus pada pencapaian yang dilihat orang lain.
Di sisi lain, seorang pendaki bernama Ahmad memilih untuk mendaki gunung lokal yang sesuai dengan tingkat kebugarannya dan memiliki makna pribadi.
Ahmad menikmati proses persiapan dan perjalanan, serta merasa sangat puas ketika mencapai puncak. Pengalamannya menunjukkan bahwa ketika ambisi diselaraskan dengan kebutuhan dan minat pribadi, kepuasan dapat lebih dirasakan.
Pendakian gunung adalah aktivitas yang menawarkan kesempatan untuk menguji diri dan meraih kepuasan pribadi. Namun, dalam era FOMO dan media sosial, penting untuk menyadari bagaimana ambisi dan dorongan eksternal dapat memengaruhi keputusan kita.
Menetapkan tujuan yang realistis, mengelola ekspektasi media sosial, dan fokus pada proses perjalanan dapat membantu menyelaraskan ambisi dengan kepuasan pribadi.
Dengan cara ini, pendakian gunung dapat menjadi pengalaman yang benar-benar memuaskan dan memperkaya, bukan hanya sebagai upaya untuk mengejar pencapaian yang didorong oleh FOMO. (agp)
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB
Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di [email protected] || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)